Hampir semua dari kita pernah mengalami apa yang dinamakan deja vu: sebuah perasaan aneh yang mengatakan bahwa peristiwa baru yang sedang kita rasakan sebenarnya pernah kita alami jauh sebelumnya. Peristiwa ini bisa berupa sebuah tempat baru yang sedang dikunjungi, percakapan yang sedang dilakukan, atau sebuah acara TV yang sedang ditonton. Lebih anehnya lagi, kita juga seringkali tidak mampu untuk dapat benar-benar mengingat kapan dan bagaimana pengalaman sebelumnya itu terjadi secara rinci. Yang kita tahu hanyalah adanya sensasi misterius yang membuat kita tidak merasa asing dengan peristiwa baru itu.
Keanehan fenomena deja vu ini kemudian melahirkan beberapa
teori metafisis yang mencoba menjelaskan sebab musababnya. Salah satunya adalah
teori yang mengatakan bahwa deja vu sebenarnya berasal dari kejadian serupa
yang pernah dialami oleh jiwa kita dalam salah satu kehidupan reinkarnasi
sebelumnya di masa lampau. Bagaimana penjelasan ilmu psikologi sendiri?
Terkait
dengan Umur dan Penyakit Degeneratif
Pada awalnya, beberapa ilmuwan
beranggapan bahwa deja vu terjadi ketika sensasi optik yang diterima oleh
sebelah mata sampai ke otak (dan dipersepsikan) lebih dulu daripada sensasi yang
sama yang diterima oleh sebelah mata yang lain, sehingga menimbulkan perasaan
familiar pada sesuatu yang sebenarnya baru pertama kali dilihat. Teori yang
dikenal dengan nama “optical pathway delay” ini dipatahkan ketika pada bulan
Desember tahun lalu ditemukan bahwa orang butapun bisa mengalami deja vu
melalui indra penciuman, pendengaran, dan perabaannya.
Selain itu, sebelumnya Chris Moulin
dari University of Leeds, Inggris, telah menemukan pula penderita deja vu
kronis: orang-orang yang sering dapat menjelaskan secara rinci
peristiwa-peristiwa yang tidak pernah terjadi. Mereka merasa tidak perlu
menonton TV karena merasa telah menonton acara TV tersebut sebelumnya (padahal
belum), dan mereka bahkan merasa tidak perlu pergi ke dokter untuk mengobati
‘penyakit’nya karena mereka merasa sudah pergi ke dokter dan dapat menceritakan
hal-hal rinci selama kunjungannya! Alih-alih kesalahan persepsi atau delusi,
para peneliti mulai melihat sebab musabab deja vu ke dalam otak dan ingatan
kita.
Baru-baru ini, sebuah eksperimen
pada tikus mungkin dapat memberi pencerahan baru mengenai asal-usul deja vu
yang sebenarnya. Susumu Tonegawa, seorang neuroscientist MIT, membiakkan
sejumlah tikus yang tidak memiliki dentate gyrus, sebuah bagian kecil dari hippocampus,
yang berfungsi normal. Bagian ini sebelumnya diketahui terkait dengan ingatan
episodik, yaitu ingatan mengenai pengalaman pribadi kita. Ketika menjumpai
sebuah situasi, dentate gyrus akan mencatat tanda-tanda visual, audio, bau,
waktu, dan tanda-tanda lainnya dari panca indra untuk dicocokkan dengan ingatan
episodik kita. Jika tidak ada yang cocok, situasi ini akan ‘didaftarkan’
sebagai pengalaman baru dan dicatat untuk pembandingan di masa depan.
Menurut Tonegawa, tikus normal mempunyai kemampuan yang sama
seperti manusia dalam mencocokkan persamaan dan perbedaan antara beberapa
situasi. Namun, seperti yang telah diduga, tikus-tikus yang dentate gyrus-nya
tidak berfungsi normal kemudian mengalami kesulitan dalam membedakan dua
situasi yang serupa tapi tak sama. Hal ini, tambahnya, dapat menjelaskan
mengapa pengalaman akan deja vu meningkat seiring bertambahnya usia atau
munculnya penyakit-penyakit degeneratif seperti Alzheimer: kehilangan atau
rusaknya sel-sel pada dentate gyrus akibat kedua hal tersebut membuat kita
sulit menentukan apakah sesuatu ‘baru’ atau ‘lama’.
Menciptakan
‘Deja Vu’ dalam Laboratorium
Salah satu hal yang menyulitkan para
peneliti dalam mengungkap misteri deja vu adalah kemunculan alamiahnya yang
spontan dan tidak dapat diperkirakan. Seorang peneliti tidak dapat begitu saja
meminta partisipan untuk datang dan ‘menyuruh’ mereka mengalami deja vu dalam
kondisi lab yang steril. Deja vu pada umumnya terjadi dalam kehidupan
sehari-hari, di mana tidak mungkin bagi peneliti untuk terus-menerus
menghubungkan partisipan dengan alat pemindai otak yang besar dan berat. Selain
itu, jarangnya deja vu terjadi membuat mengikuti partisipan kemana-mana setiap
saat bukanlah hal yang efisien dan efektif untuk dilakukan. Namun beberapa
peneliti telah berhasil mensimulasikan keadaan yang mirip deja vu.
Seperti yang dilaporkan LiveScience,
Kenneth Peller dari Northwestern University menemukan cara yang sederhana untuk
membuat seseorang memiliki ‘ingatan palsu’. Para partisipan diperlihatkan
sebuah gambar, namun mereka diminta untuk membayangkan sebuah gambar yang lain
sama sekali dalam benak mereka. Setelah dilakukan beberapa kali, para
partisipan ini kemudian diminta untuk memilih apakah suatu gambar tertentu
benar-benar mereka lihat atau hanya dibayangkan. Ternyata gambar-gambar yang
hanya dibayangkan partisipan seringkali diklaim benar-benar mereka lihat.
Karena itu, deja vu mungkin terjadi ketika secara kebetulan sebuah peristiwa
yang dialami seseorang serupa atau mirip dengan gambaran yang pernah
dibayangkan.
LiveScience juga melaporkan percobaan Akira O’Connor dan
Chris Moulin dari University of Leeds dalam menciptakan sensasi deja vu melalui
hipnosis. Para partisipan pertama-tama diminta untuk mengingat sederetan daftar
kata-kata. Kemudian mereka dihipnotis agar mereka ‘melupakan’ kata-kata
tersebut. Ketika para partisipan ini ditunjukkan daftar kata-kata yang sama,
setengah dari mereka melaporkan adanya sensasi yang serupa seperti dejavu,
sementara separuhnya lagi sangat yakin bahwa yang mereka alami adalah
benar-benar deja vu. Menurut mereka hal ini terjadi karena area otak yang
terkait dengan familiaritas diganggu kerjanya oleh hipnosis.
0 komentar:
Posting Komentar